Rahasia Allah dalam Menurunkan Adam ke Bumi #4



Allah SWT juga ingin mengetahui hamba-hamba-Nya yang berhak menerima kesempurnaan dan keagungan nikmat-Nya, supaya cinta, rasa syukur, dan kelezatan nikmat yang mereka rasakan semakin besar. Karena itu, Allah memperlihatkan kepada mereka tindakan-Nya terhadap musuh-musuh-Nya, serta azab dan kepedihan yang dipersiapkan untuk musuh-musuh tersebut. Dan di sisi lain, Allah memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman, bahwa mereka dibebaskan dari azab dan siksa, serta kekhususan yang mereka peroleh berupa nikmat dan kecintaan yang paling tinggi; cinta-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Itu semua agar kebahagiaan mereka semakin bertambah, kebanggaanmereka sempurna, dan kegembiraan mereka semakin besar.

Semua itu tidak akan berlaku kecuali dengan menurunkan mereka ke bumi, di mana mereka diuji dan dicoba. Dan di bumi inilah Dia memberikan taufik kepada siapa yang Dia kehendaki sebagai bukti kasih sayang dan kemurahan-Nya. Di bumi ini juga Dia menelantarkan orang-orang yang Dia kehendaki sebagai bukti kebijaksanaan dan keadilan-Nya. Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Tidak disangsikan bahwa jika seorang menyaksikan musuhnya atau orang yang dekat dengannya merasakan berbagai macam siksa dan kepedihan, sedangkan ia bergelimang dengan berbagaijenis nikmat dan kelezatan, maka kegembiraannya akan semakin bertambah serta kelezatan dan nikmat yang ia rasakan semakin besar dan semakin sempurna.
Allah SWT menciptakan makhluk-Nya adalah untuk beribadah kepada-Nya, dan itulah tujuan penciptaan mereka. Allah berfirman,
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepadaKu." (adz-Dzaariyaat: 56)
Dan, dimaklumi bahwa kesempurnaan ibadah yang dituntut dari manusia tidak dapat terealisasi dalam surga; sebagai tempat kenikmatan yang abadi. Karena surga sebagai tempat kelezatan dan kenikmatan, bukanlah tempat untuk mendapatkan cobaan, ujian, dan beban. Akan tetapi, kesempurnaan ibadah tersebut hanya dapat terealisasi di bumi; tempat cobaan dan ujian. Hikmah Allah SWT juga menghendaki agar Adam a.s. dan keturunannya mempunyai struktur tubuh yang sarat dengan dorongan hawa nafsu dan fitnah, serta dibekali akal dan ilmu. Allah SWT menciptakan dalam diri Adam a.s. akal dan syahwat, dan memberi keduanya kecenderungan yang berbeda. Hal itu dimaksudkan untuk  merealisasikan kehendak-Nya dan menampakkan keagungan-Nya kepada hamba-hamba-Nya.
Semua itu dilakukan Allah SWT dalam frame hikmah, kehebatan, kasih sayang, kebaikan dan kelembutan-Nya, yang menjadi bukti kekuasaan dan kerajaan-Nya. Hikmah dan rahmat Allah SWT juga menghendaki untuk menimpakan kepada Adam a.s. akibat dari tindakannya menyalahi aturan-Nya. Allah SWT juga memberitahu Adam apa yang ia eroleh akibat mengikuti syahwat dan hawa nafsunya, supaya dia semakin berhati-hati dan semakin menjauhinya. Dengan demikian, kondisi Nabi Adam a.s. bagaikan seseorang yang berada dalam perjalanan, di mana musuh-musuhnya bersembunyi di samping, di belakang, dan di depannya, sedangkan dia tidak menyadarinya. Jika dia mendapat serangan satu kali saja, maka dia akan terus waspada dan bersiap siaga sepanjang perjalanan. Dia juga akan melakukan pef siapan untuk menghadapi musuh-musuhnya, serta mempersiapkan segala sesuatu yang dapat melindunginya dari serangan musuh-musuh tersebut. Seandainya dia sama sekali tidak pernah merasakan kekalahan akibat serangan dan konspirasi musuh, maka ia tidak akan pernah waspada dan bersiap siaga serta tidak akan mempersiapkan persenjataan.
Maka, di antara kesempurnaan nikmat Allah SWT kepada Adam a.s. dan keturunannya, Dia memperlihatkan apa yang dilakukan musuh terhadap mereka, supaya mereka bersiap siaga dan melakukan persiapan untuk menghadapinya. Kalau dikatakan bahwa bisa saja musuh-musuh tersebut tidak mampu menguasai Adam a.s. dan keturunannya, maka jawaban untuk hal ini adalah bahwa Allah SWT telah menciptakan Adam a.s. dan keturunannya dalam bentuk dan struktur tubuh yang mengharuskan mereka berbaur dengan musuh-musuh tersebut, serta mengharuskan mereka menjalani ujian ditangan musuh-musuh itu.
Seandainya Allah SWT menghendaki, niscaya Dia menciptakan Adam a.s. dan keturunannya seperti malaikat, yang memiliki akal tanpa syahwat sehingga musuhmusuh tidak mampu mengganggu mereka. Akan tetapi, seandainya mereka diciptakan dalam bentuk demikian, maka mereka adalah makhluk lain, bukan anakcucu Adam a.s.. Karena sesungguhnya anak-cucu Adam a.s. terbentuk dari unsur akal dan syahwat.
Di samping itu, karena cinta kepada Allah SWT yang merupakan puncak kesempurnaan dan kebahagiaan seorang hamba hanya terwujud dengan menanggung kesulitan demi ketaatan dan keridhaan-Nya, maka hanya dengan menjalani semua itulah cinta sejati dapat terwujud dan dapat diketahui keteguhannya di dalam hati.
Hikmah Allah SWT menghendaki untuk mengeluarkan Adam a.s. dan turunannya ke tempat yang diliputi syahwat dan kecintaan kepada hawa nafsu. Sedangkan, cinta kepada Allah SWT hanya akan terwujud dengan mengutamakankebenaran dan menghindari hawa nafsu, serta hal-hal yang lain di dunia. Dengan demikian, manusia dituntut untuk memikul kesulitan yang berat, menjalani marabahaya, menanggung celaan, bersabar menghadapi kezaliman dan kesesatan, serta dituntut untuk menanggulanginya. Semua ini memperkokoh kekuatan cinta yang tertanam di dalam relung hati. Kemudian hasilnya pun akandinikmati oleh seluruh anggota tubuhnya.
Sesungguhnya cinta yang hakiki dan membuahkan hasil adalah cinta yang tetap tegar menghadapi berbagai hambatan, tantangan, dan gangguan. Sedangkan, cinta yang mensyaratkan (menuntut) kebahagiaan, kenikmatan, kesenangan, dan terpenuhinya keinginan sang pencinta dariyang dicinta, maka ini bukanlah cinta yang sejati. la sama ekali tidak mempunyai keteguhan menghadapi tantangan dan rintangan. Karena sesuatu yang tergantung pada syarat, akan hilang di kala syarat itu hilang. Barangsiapa menyayangiAnda karena sesuatu, maka dia akan berpaling di saat sesuatu tersebut hilang. Jadi orang yang menyembah Allah SWT hanya di kala bahagia, sejahtera, dan sehat, berbeda dengan orang yang tetap menyembah Allah SWT di kala susah dan bahagia, menderita dan sejahtera, serta di kala sakit dan sehat.
Hanya milik Allah SWT pujian yang sempurnadan tanpa akhir. Terlihatnya ebabsebab yang membuat Dia terpuji, merupakan konsekuensi dari Zat-Nya Yang Maha Terpuji. Sebab-sebab itulah yang membuat-Nya terpuji. Adapun sebab yang membuat Dia Maha Terpuji itu ada dua, yaitu MahaPemurah dan Maha Adil. Maka, Allah SWT terpuji pada kedua hal tersebut. Karena itu, sebab-sebab keadilan dan penyebutan-penyebutannya harus Tampak, sehingga kesempurnaan pujian yang pantas bagi-Nya dapat terwujud. Dan sebagaimana Dia terpuji dalam kebaikan, kasih sayang, dan kemurahan-Nya, Dia juga terpuji dalam keadilan, ganjaran, dan siksaNya, karena semua itu berasal dari keagungan dan kebijaksanaan-Nya. Oleh karena itu, dalam Al-Qur'an Allah SWT seringkali mengingatkan hal ini. Seperti yang terdapat dalam surah asy-Syu'araa', yang pada akhir setiap kisah para rasul dan umat mereka Dia berfirman,
"Sesungguhnya 'pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar, tetapi adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang." (asy-Syu'araa : 8-9)
Sebagaimana disebutkan dalam ayat diatas, Allah SWT memberitahukan bahwa kebaikan, kasih sayang, kemurahan, keadilan, pahala, dan siksa adalah berasal dari keagungan-Nya, yang mencakup sempurnanya kekuasaan, kebijaksanaan, dan pengetahuan-Nya, serta ketepatan penempatan-Nya terhadap segala sesuatu pada posisinya masing-masing. Hal ini sebagaimana Dia tidak memberikan kenikmatan dan keselamatan kecuali kepada para rasul dan pengikutnya. Dia tidak menimpakan kemurkaan dan kebinasaan kecuali kepada para musuh-Nya. Semua ini merupakan penempatan yang tepat, terjadi karena sempurnanya keagungan dan kebijaksanaanNya.  Oleh karena itu, setelah memberitahukan ketetapan-Nya bagi orang-orang yang bahagia dan orang-orang yang sengsara sertaperjalanan mereka ke tempat yang sesuai bagi mereka masing-masing, maka Dia berfirman,
"Dan diberi putusan di antara hamba-hamba Allah dengan adil dan diucapkan, 'Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam.' (az-Zumar: 75)
Kemahabijaksanaan dan kemahaterpujian Allah SWT menghendaki adanya perbedaan yang sangat besar dan mencolok di antara hamba-hamba-Nya. Ini Dia lakukan agar hamba-hamba-Nya yang mendapatkan nikmat dan kemurahan-Nya mengetahui bahwa Allah SWT telah menganugerahkan nikmat dan kemurahan serta kemuliaan yang tidak diberikan kepada yang lainnya, semua itu agar mereka mau bersyukur. Seandainya semua manusia sama dalam memperoleh nikmat dan kesejahteraan, maka mereka yang memperoleh nikmat tidak akan mengetahui nilai nikmat itu sendiri dan tidak akan berusaha untuk bersyukur karena merasa bahwa kondisi semua orang sama dengannya.
Di antara sebab yang paling kuat dan paling besar yang membuat seorang hamba bersyukur, adalah ketika dia melihat dirinya dalam kondisi yang berbeda dengan hamba yang lain, di mana dia berada dalam keadaan serba cukup dan beruntung. Dalam sebuah riwayat yang masyhur, tatkala Allah SWT memperlihatkan kepada Adam a.s. kondisi keturunannya dan perbedaan tingkatan mereka, Adam a.s. berkata,"Wahai Tuhanku mengapa Engkau tidak menyamakan derajat hamba-hambaMu?" Allah SWT menjawab, "Saya suka menerima rasa syukur."
Maka, keinginan Allah SWT untuk disyukuri, menuntut diciptakannya sebabsebab yang menjadikan rasa syukur hamba-hamba-Nya lebih besar dan lebih sempurna. Dan, inilah esensi kebijaksanaan Allah SWT yang berasal dari sifat keterpujian-Nya.
Tidak ada sesuatu yang lebih disenangi Allah SWT dari seorang hamba, selain ketundukan, kepatuhan, ketergantungan,ketidakberdayaan, dan kepasrahan di hadapan-Nya. Sebagaimana diketahui bahwa hal-hal di atas yang dituntut dari seorang hamba, hanya tercapai jika sebab-sebab pendukungnya ada. Sedangkan, sebab-sebab tersebut tidak bisa terwujud di dalam surga, yang merupakan tempat kenikmatan yang mutlak dan kesehatan yang sempurna. Karena jika sebab-sebab tersebut terwujud di surga, maka hal ini memiliki konsekuensi penggabungan dua hal yang kontradiktif.
Hanya Allah SWT yang berkuasa mencipta dan memerintah. Perintah-Nya itu adalah syariat dan agama-Nya yang diturunkan melalui para nabi dan kitab-kitabNya. Sedangkan surga bukanlah tempat menjalankan ketetapan syara', di mana hukum-hukum dan akibat-akibatnya berlaku.Akan tetapi, surga adalah tempat kenikmatan dan kesenangan. Dan, hikmah Allah SWT menghendaki Adam a.s. beserta keturunannya dikeluarkan ke suatu tempat, yang di dalamnya hukum-hukum syara' dan perintah Allah berlaku. Sehingga, konsekuensi dari perintah tersebut dan akibat-akibatnya tampak pada diri mereka.
Sebagaimana perbuatan dan penciptaan Allah SWT merupakan konsekuensi koheren dari kesempurnaan Asmaa 'ul-Husna dan sifat-sifat-Nya Yang Maha Agung, demikian juga halnya dengan syariat-Nya, yang meliputi pahala dan siksa. Allah SWT menunjukkan hal ini pada ayat lain dalam Al-Qur'an, sebagaimana firman-Nya,
"Apakah manusia mengira bahwa ia akan dibiarkan begitu saja tanpa pertanggungjawaban." (al-Qiyaamah: 36)
Artinya, apakah mereka mengira bahwa mereka tidak dipedulikan, dibiarkan, tidak diperintah, tidak dilarang, tidak diberi pahala, dan tidak disiksa? Ayat ini menunjukkan bahwa anggapan tadi bertentangan dengan kesempurnaan hikmahNya. Ketuhanan, keagungan, serta hikmah-Nya menolak hal tersebut. Karena itu, Allah SWT berfirman dalam bentuk pengingkaran terhadap orang yang memiliki prasangka di atas. Ini menunjukkan bahwa kebaikan Allah SWT tertanam dalam fitrah dan akal manusia. Begitu pula buruknya membiarkan kebaikan, juga tertanam di dalam fitrah manusia. Maka, bagaimana mungkin sesuatu yang keburukannya tertanam di dalam fitrah dan akal manusia dapat dinisbatkan kepada Tuhan? Allah SWT berfirman,
"Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara bermain-main saja dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?Maka, Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenamya. Tidak ada Tuhan selain Dia, Tuhan yang memiliki Arasy yang mulia." (al-Mu rninuun: 115-116)
Sebagaimana dalam ayat di atas, Allah SWT mensucikan Zat-Nya dari anggapan batil yang bertentangan dengan nama dan sifat-sifat-Nya serta tidak layak bagi keagungan-Nya. Dia juga menegaskan bahwa penisbatan anggapan tersebut kepadaNya tidaklah benar. Dan, ayat-ayat seperti ini banyak terdapat dalam Al-Qur'an.
Allah SWT menyukai, bagi hamba-hamba-Nya, hal-hal yang perealisasiannya tergantung pada terwujudnya sebab-sebab yang mereka capai, yang menghantarkan kepada hal-hal tersebut. Hal-hal tersebut tidak dapat tercapai kecuali dalam tempat cobaan serta ujian. Maka, Allah SWT mencintai orang-orang yang sabar, orang-orang yang bersyukur, orang-orang yang bersatu untuk berperang di jalan-Nya, orangorang yang bertobat, dan orang-orang yangmenyucikan diri mereka. Dan merupakan hal yang sudah jelas, bahwa kecintaan Allah ini tidak akan tercapai tanpa adanya sebab-sebab, sebagaimana kemustahilan terwujudnya akibat tanpa adanya sebab.
Kegembiraan Allah SWT atas tobat hamba-Nya lebih besar daripada kegembiraan seseorang yang kehilangan tunggangan beserta seluruh perbekalan di atasnya di sebuah lembah nan tandus, lalu tiba-tiba ia menemukannya. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat shahihbahwa Nabi saw. bersabda,
"Sesungguhnya kegembiraan Allah karena tobat seorang mukmin, lebih besar daripada seseorang yang berada di tanah tandus bersama hewan tunggangannya yang membawa makanan dan minumannya, lalu ia tertidur. Tatkala terbangun ia tidak menemukan tunggangannya. Kemudian dia mencarinya hingga dahaga menyerangnya, sehingga ia putus asa dan berkata, 'Aku akan kembali ke tempat di mana aku tertidur, dan aku akan tidur lagi sampai aku mati.' Maka dia pun meletakkan kepala di atas lengannya, untuk bersiap-siap menyambut kematian. Namun, tiba-tiba dia terbangun dan melihat hewan tunggangannya yang membawa seluruh bekalnya berada di sampingnya. Maka, kegembiraan Allah karena tobat seorang mukmin, lebih besar daripada kegembiraan orang tersebut." (HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)
Insya Allah pembicaraan lebih lanjut mengenai hadits ini dan penjelasan rahasia kegembiraan Allah atas tobat seorang hamba akan menyusul. Adapun maksud dari hadits di atas secara ringkas adalah bahwa kegembiraan Allah SWT timbul setelah hamba tersebut bertobat dari dosanya. Karena tobat dan dosa adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan dengan kegembiraan itu, sebagaimana akibat tidak akan ada tanpa adanya sebab. Jika kegembiraan Allah SWT hanya terwujud karena tobat yang tidak terpisahkan dari dosa, maka kegembiraan-Nya tersebut tidak akan terjadi di surga, tempat kenikmatan, di mana dosa dan pelanggaran tidak ada. Dan ketika terwujudnya kegembiraan itu lebih Allah SWT sukai daripada ketiadaannya, maka kesukaan Allah tersebut mengharuskan diciptakannya sebab-sebab terwujudnya kegembiraan yang disukai oleh-Nya.
Allah SWT menjadikan surga sebagai tempat menerima imbalan dan pahala, dan membagi-bagi tingkatan surga, sesuai amal perbuatan para penghuninya. Maka, Allah SWT menciptakan surga dan membagi-bagi tingkatannya, karena di dalam pembagian itu terdapat hikmah yang sesuai dengan nama dan sifat-sifat-Nya. Sesungguhnya surga bertingkat-tingkat, dan jarak antara satu tingkat dengan tingkat berikutnya seperti jarak antara langit dan bumi. Hal ini sebagaimana terdapat dalam riwayat yang shahih, Rasulullah saw. bersabda, Tidak untuk tujuan komersil  Maktabah Raudhatul Muhibbin
"Sesungguhnya surga itu terdiri dari seratus tingkatan. Jarak antarsatu tingkatan dengan yang lain seperti jarak antara bumi dan langit."(HR Bukhari, Muslim, dan Tirmidzi)
Hikmah Allah SWT menghendaki agar semua tingkatan surga ini dihuni. Dan, perbedaan tingkatan-tingkatan surga itu sesuai dengan amal perbuatan penghuninya.  Ini sebagaimana dikatakan oleh beberapa ulama salaf, "Para penghuni surga selamat dari siksa neraka adalah karena maaf dan ampunan Allah SWT. Mereka masuk surga karena kemurahan, nikmat, dan ampunan Allah SWT semata. Dan, mereka membagibagi tempat mereka di surga sesuai dengan amal perbuatan mereka." Berdasarkan hal ini, beberapa ulama menetapkan bahwa seseorang masuk surga adalah karena amal perbuatannya, sebagaimana firman Allah SWT,
"Dan itulah surga yang diwariskan kepadamu disebabkan amal-amal yang dahulu kamu kerjakan." (az-Zukhruuf: 72).
Juga firman-Nya,
"Masuklah kamu ke dalam surga itu disebabkan apa yang telah kamu kerjakan." (an-Nahl: 32)
Sedangkan nash-nash yang menunjukkan bahwa seseorang tidak masuk surga karena amal perbuatannya, seperti sabda Rasulullahsaw. dalam hadits riwayat Bukhari, "Tak seorang pun akan masuk surga karena amalnya." Lalu para sahabat bertanya, "Apakah engkau juga wahai Rasulullah?" Rasulullah menjawab, "Demikian pula aku."
Maksudnya bahwa pada dasarnya merekatidak masuk surga. Jawaban yang lebih tepat adalah bahwa huruf ba' yang bermakna sebab bukan huruf ba' yang tidak memiliki makna sebab. Huruf ba' pertama ini disebut ba' sababiyyah {ba' yang memiliki arti sebab), yang berarti bahwa amal perbuatan adalah sebab masuk surga, sebagaimana semua sebab membutuhkan akibat. Sedangkan ba' yang kedua yang tidak bermakna sebab, dinamakan ba' mu 'aawadhah wa muqaabalah, seperti dalam kata-kata orang Arab, "Saya membeli barang ini dengan uang ini." Dan inilah ba' yang terdapat dalam hadits di atas.
Maka, Rasulullah saw. bersabda bahwa masuk surga bukanlah imbalan dari amal seseorang. Seandainya bukan karena limpahan kasih sayangAllah SWT, maka tidak seorang pun masuk surga. Jadi amal seorang hamba, meskipun tidak terbatas jumlahnya, bukan satu-satunya hal yang mengharuskan dia masuk surga, dan bukan pula masuk surga itu sebagai ganti amalnya. Meskipun amal seorang hamba dilakukan sesuai dengan cara yang dicintai dan diridhai Allah SWT, namun itu tidak dapat mengimbangi dan menyamai nikmat yang Allah SWT limpahkan kepadanya di dunia. Bahkan, jika amal perbuatannya dihisab, maka itu hanya setimpal dengan sedikit nikmat Allah SWT. Sedangkan, nikmat-nikmat Allah SWT lain yang ia terima, masih memerlukan rasa syukur. Jadi Allah SWT mengazabnya padahal ia telah berbuat kebajikan, maka itu bukanlah kezaliman dari-Nya atas orang tersebut. Dan apabila Allah SWT memberikan rahmat-Nya kepada orang tersebut, maka rahmat-Nya itu jauh lebih baik dari amal perbuatannya. Ini sebagaimana terdapat dalam sebuah riwayat dari Zaid Bin Tsabit, Hudzaifah dan Iain-lain, yang terdapat dalam kitab-kitab Sunan yang dinisbatkan kepada Nabi saw.
"Jika Allah berkehendak mengazab para penghuni surga dan para penghuni bumi-Nya, Dia pasti mengazab mereka, dan itu bukanlah kezaliman dari-Nya atas mereka. Dan jika Allah member! rahmat-Nya kepada mereka, maka rahmatNya lebih baik dari amal perbuatan mereka." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Hibban)
Allah SWT menghendaki penciptaan surga dengan derajatnya yang bertingkattingkat dan mengisinya dengan Adam a.s. beserta keturunannya. Allah SWT juga menempatkan mereka di dalam surga sesuai dengan amal perbuatan mereka. Maka sebagai konsekuensi dari kehendak Allah itu, Dia menurunkan Adam a.s. dan keturunannya ke bumi, tempat beramal dan berjuang.
Allah SWT menciptakan Adam a.s. dan anak cucunya sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, Tidak untuk tujuan komersil  Maktabah Raudhatul Muhibbin
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." (alBaqarah: 30)
"Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi." (al-An'aam:
165)
"Dan menjadikan kamu khalifah di bumi." (al-A'raaf: 129)
Jadi Allah SWT hendak memindahkan Adama.s. dan keturunannya dari kekhalifahan di bumi, menjadi pewaris surga yang abadi. Dengan ilmu-Nya, Allah SWT telah mengetahui bahwa karena kelemahan dan pendeknya pandangan manusia, terkadang mereka lebih memilih sesuatu yang dapat ia nikmati dengan segera namun tidak bernilai, daripada sesuatu yang datangnya tertunda namun sangat berharga. Hal ini disebabkan jiwa manusia lebih senang kepada sesuatu yang dapat mereka dapatkan dengan segera daripada sesuatu yang akan mereka peroleh kelak. Dan,ini merupakan konsekuensi diciptakannya manusia dengan tabiat tergesa-gesa serta diciptakan dengan sifat suka terburuburu. Karena itu, Allah SWT mengetahui bahwa salah satu sifat manusia adalah lemah.
Maka, hikmah Allah SWT menghendakiuntuk memasukkan mereka ke dalam surga, supaya mereka mengetahui secara langsung nikmat yang disiapkan untuk mereka. Sehingga, mereka lebih merindukan dan menginginkannya, serta lebih semangat untuk mendapatkannya. Karena cinta, rindu, dan keinginan mendapatkan sesuatu terjadi karena seseorang telah membayangkan sesuatu tersebut. Barangsiapa yang secara langsung menyaksikan dan merasakan keindahan serta kenikmatan sesuatu, maka dia tidak bisa bersabar untuk menggapainya.
Semua ini terjadi karena jiwa manusia sangat perasa dan perindu. Apabila ia telah merasakan nikmatnya sesuatu, maka iaakan terus merindukannya. Karena itu, jika seorang hamba telah merasakan manisnya keimanan, dan keindahan iman telah menyatu dengan kalbunya, maka akan kokoh kecintaannya kepada-Nya dan selamanya tidak akan goyah oleh sesuatu pun.

0 comments :

Post a Comment

Terima kasih atas tanggapan yang anda berikan
semoga blog ini menjadi lebih bermanfaat untuk kedepannya

Cancel Reply

Penyejuk Hati - Menggapai Cinta Ilahi